Type Here to Get Search Results !

Melayu Dan Minangkabau Sesudah Abad Ke 19, Dan Pengaruh Kepentingan Politik


Pariaman Line - Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang orang minang berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo Menurut Para ahli sejarah modern tidak bisa sepenuhnya di jadikan landasan sejarah, di karenakan tak ada mempunyai catatan tahun dan bulan kejadian, juga tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta, serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat Minang, Namun seridaknya kisah tambo sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan 'Sulalatus Salatin' yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja Di Pulau perca atau pulau andalas (Bumi minang).



Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatra sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatra, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.

Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.

Baca Juga: "Walau Berkuasa Di Paguruyung, Adityawarman Tak Pernah Mengakui Ia Raja Di Minangkabau"

Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Perlu Di Catat, Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai digunakan untuk membedakan budaya matrilineal yang tetap bertahan pada etnis Minang, Dan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu pada umumnya. 

Kemudian, pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun Juga kepentingan politik, Terutama setelah pembubaran PRRI, Ketika Sumatera tengah di kotak-kotak oleh Pemerintahan Orla menjadi beberapa provinsi.

Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat".

Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur dan pesisir Barat (Pariaman), kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, Besar kemungkinan selain dari pintu barat, islam juga masuk dari pintu ini, Karna Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman).

Baca Juga: " Ternyata Adat Melayu Malaysia Mengadopsi Adat Istiadat Minangkabau (Pengakuan ahli adat Melayu Malaysia)"

Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini adalah munculnya Perang Padri.

Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem pada masyarakat Minangkabau.

Baca Juga: "Walaupun Sering Konflik dengan Indonesia, Malaysia takkan Bisa Lupakan Minangkabau"

Seperti yg kita ketahui, Orang minang Menrapkan System Matrilinea, Yg merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang.

Adat dan budaya minang menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.

Salah satu ciri adat matrilinealisme Minangkabau adalah garis keturunan yang ditarik berdasarkan garis ibu, yang secara lebih luas kemudian membentuk kelompok kaum (lineages) dan suku (clans), dan penguasaan harta pusaka ada di tangan kaum ibu yang dipimpin oleh seorang wanita senior Di Gelarkan bundo kanduang.

Bundo kandung memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Akan tetapi, Walau kekuasaan Bundo Kanduang sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.

Perlu Di Catat, Orang Minang menganggap Suku melayu adalah bagian dari dalam minangkabau itu sendiri, Orang minang tak ada mebedakan suku melayu dan minang sebelum abad ke 19, karna di ranah minang sendiri banyak klan suku (marga) yg memakai adat istiadat minang, seperti suku melayu, suku koto, suku guci, suku mandailing, suku sikumbang, panyalai dan masih banyak lagi klan suku lain. Jadi tak heran, dalam memajukan bahasa melayu banyak andil orang-orang minang yg mempopulerkan, terutama para sastrawan lama yg dalam tulisannya memakai bahasa dialek melayu dalam karya mereka, sebut saja buya hamka, muhammad yamin Dan angkatan penulis balai pustaka yg banyak berdarah minang.

Baca Juga: " SITI MANGGOPOH, PAHLAWAN WANITA DARI AGAM SUMATERA BARAT "

Orang Minang Tak pernah membedakan melayu dan minangkabau sebelum Terpisahnya Sumatra tengah menjadi beberapa provinsi, Orang minang tetap mengatakan suku melayu adalah bagian dari minangkabau itu sendiri sebelum di pisahkan oleh kepentingan politik. Itu bisa di lihat dari Historiografi tradisional orang Minang, Seperti Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. 

Suku Minangkabau sendiri dulu menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.

Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.

Masyarakat Minangkabau juga memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan. Tarian ini merupakan tarian yang dipertunjukkan untuk memberikan ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Baca Juga: " ACEH - MINANGKABAU, DALAM SEJARAH DAN TRADISI "

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasanya diiringi oleh nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.

Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik. (Boy Paskand )


Sumber Rujukan:
  1.  Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan BPS – Statistics Indonesia.
  2. ^ "Salinan arsip"Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-23. Diakses tanggal 2020-06-16.
  3. a b De Jong, P.E de Josselin (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhartara.


Promo



 


Kunjungi Juga: