Type Here to Get Search Results !

Kesederhanaan Haji Agus Salim, Inspirasi Pemimpin Kekinian




Editor: Boy Paskand

Pariaman Line - Sangat bokeh atau sosok miskin, tidak ada tokoh bangsa yang semelarat namun sebahagia Haji Agus Salim. Hatta masih punya rumah di kawasan Menteng yang sekarang daerah elit. Agus Salim boro-boro punya rumah. Sampai wafat ia tetap berstatus “kontraktor” atau mengontrak rumah.


Kediamannya berupa rumah sempit di gang sempit pula masih berstatus sewa, ketika sang penghuni, Agus Salim, wafat pada November 1954. Padahal, kurang apa posisi yang pernah ia sandang: salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan internasional pertama bagi RI, dan Menteri Luar Negeri era revolusi itu wafat. 



Baru setelah itu, beberapa tahun kemudian, anak-anaknya patungan membeli rumah kontrakannya itu demi mengenang sang ayah. Sepanjang hidupnya Agus Salim hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.

Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada perkampungan di sudut kota, di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, menjalani hari-hari mereka. 

Di Jakarta, pasangan ini pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, gang Listrik dan masih banyak lagi. Khusus ketika tinggal di gang listrik, menjadi kenangan tersendiri.  Di gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan istrinya Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.

Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr. Mohammad Roem mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar. 



Nasi goreng kecap mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang tidak ada makanan lain yang lebih bergizi, dan tidak ada uang. Murid politiknya yang lain, Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu sambil mengingat adagiumnya yang menciutkan hati, leiden is lijden, memimpin itu menderita.

Meskipun miskin untuk ukuran orang kebanyakan, Salim sendiri merasa dirinya baik-baik saja. Karenanya, rasa percaya dirinya selalu tinggi, tidak pernah minder atau canggung di lingkungan mana pun. Dalam urusan satu ini Salim mirip BK. 


Ia bisa berbincang dengan Pangeran Phillip (suami Ratu Inggris) sama nyamannya dengan kalau ia bicara dengan hansip yang di tengah ronda malam mampir ke rumah kontrakannya. Dengan segala keunikannya itu, H Agus Salim dijuluki The Grand Old Man.



Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq (bermakna “pembela kebenaran”) di Koto Gadang, 8 Oktober 1884. Sosok Agus Salim di Republik Indonesia ini sudah langka, tidak banyak tauladan kesederhanaan pemimpin yang hadir. Adapun yang ngaku memiliki kesederhanaan itu hanya ada dalam media visual atau medsos.

Mari bangsa Minang terkhusus pemimpin baik kecil seperti RT, RW, Korong/Jorong, Nagari, atau pemimpin dilingkungan besar seperti bupati, gubernur, presiden dan lainnya meniru kesederhanaan Haji Agus Salim[*].

Penulis: Yohannes Wempi


Pariaman Line ©️ 2021


Promo



 


Kunjungi Juga: