Oleh: Bagindo Yohannes Wempi
Editor: Boy Paskand
OPINI Pariaman Line - Dikutip melalui media daerah, "seorang ayah di salah satu Kabupaten di Sumatera Barat diduga menyetubuhi dua orang anak kandungnya sendiri. Bahkan salah satu korban meninggal dunia pada jum’at, 11 November 2021.
Baca Juga: Haji Agus Salim, Figur Pemimpin Masa Kini
Salah satu anaknya yang berusia 14 tahun tersebut meninggal di RSUD. Sebelum meninggal korban sempat beberapa hari dirawat, korban karajo ayah rutiang ini juga membuat trauma terjadi pada anaknya yang lain.
Dibeberapa medsos menjamur mumcul kelompok-kelompok, group LGBT yang membuat kita perlu prihatin. Prilaku jantan suko pejantan, sex bebas ini berkembang dilingkungan kaum intelektual, dikalangan orang-orang mapan secara ekonomi, keadaan ini juga bisa dilihat melalui media sosial dan dicafe-cafe, resto yang bukak dimalam hari.
Pada tahun 2019 dirilis data bahwa ranah Minang merupkan daerah tertinggi LGBT tersebut, tertinggi juga kasus pemerkosaan terhadap anak-anak. Pertanyannya adalah ini data riel atau hanya data yang disuguhkan untuk memojokkan rana Minangkabau yang terkenal daerah penganut Islam terkuat di NKRI ini. Jawabannya anggap data memang itu adanya.
Situasi uraian cerita diatas perlu dijadikan keprihatinan bersama yang secepatnya diatispiasi oleh semua pemangku kepentingan dan orang hebat-hebat didaerah ranah bundo ini. Menurut Penulis jika tidak secepatnya diantisipasi maka kedepan ranah Minangkabau berubah nama jadi ranah kabau, sedangkan minangnya hilang ditengah masyarakat.
Kejadian diatas secar konstitusi negara yang bertangung jawab adalah Kepala Daerah dan anggota dewan sebagai mitra satu kesatuan dipemerintah. Pertanyaannyan lagi, apa yang telah diperbuat oleh kepala daerah, anggota dewan terhadap tingginya kasus tersebut?.
Secara hukum adat, budaya lamo yang bertanggung jawab tentu ninik mamak sebagai pemegang warih sako jo pusako. Angku datuk sebagai pelayan dan pembimbing kemenakan untuk tetap memegang teguh nilai-nilai adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah diranah Minangkabau ini.
Penghulu harus segera memberikan perhatian lebih terhadap kemenakanya dengan bimbingan dan pengajaran adat istiadat, budaya Minang kuat agar kerusakan moral, kasus pemerkosaan atau LGBT tidak terjadi ditengah kaum, kemenakanannya.
Jika ada kemenakan melakukan, mencoreng arang dikening, malu kaum maka angku datuk bisa memberi sangsi, memberi keputusan tegas membuang kemenakan sepanjang adat agar penyakit masyarakat, perbuatan amoral tidak menular kemana-mana.
Semua pemangku kepentingan harus turun tangan, budaya tali tigo sapilin harus dijalankan kembali, sinergis semua pihak, termasuk para sebagai suluh bendang dalam Nagari juga ikut fokus berdakwah menyelesaikan masalah kerusakan moral dan menolak aturan-aturan pemerintah pusat yang membuka ruang untuk berkembangnya lGBT dan sex bebas.
Seperti aturan yang dikeluarkan oleh Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021. Dimana salah satu aturanya adalah jika perbuatan suka sama suka dianggap biasa atau tidak diberi sangsi. Ini makin hancur ranah lahirnya para ulama ini.
Andaikan aturan Permendikbud itu berjalan maka carut marut permasalahan moral, kerusakan moral akan mendapat perlindungan secara tidak langsung. Ini akan mempercepat atau memperbanyak kasus seperti yang dijelaskan diatas. Saat lindungi ranah Minang dari azab Allah SWT[*].
Penulis: Bagindo Yohannes Wempi
Pariaman Line ©️ 2021