Type Here to Get Search Results !

Para 'Amai-amai Jo Amak-Amak' Minang Inilah Yg Pertama Kali Membeli Pesawat Untuk Negara

Pariaman line - Aceh Dan Minangkabau ikut berperan aktif dalam menggapai kemerdekaan negara ini. Tak sedikit Peran Dua 'Negeri' Yg Punya Hubungan dekat Di Masa Lalu ini, Rakyat Aceh Dan Minangkabau Telah mengorbankan jiwa raga termasuk harta benda dalam satu tujuan, 'mengusir para penjajah di bumi ibu pertiwi'.


Salah satu bentuk sumbangsih Adalah ketika Rakyat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli pesawat Dacota setelah Presiden Soekarno datang langsung ke negeri Serambi Mekah tersebut, beberapa bulan kemudian, 16 Juni 1948. pesawat dibeli tersebut diberi nama RI-001. 

Namun tak banyak yg mengetahui kalau ternyata sebelumnya induak-induak, amai-amai, bundo kanduang (kaum ibu) Minangkabau di Sumatera Barat-lah yang pertama kali berkorban menyumbangkan emas, perak dan perhiasan lainnya untuk membeli pesawat terbang jenis 'Avro Anson' demi Kemerdekaan Indonesia. Para kaum wanita minang ini tanpa sungkan dan pikir panjang menyumbangkan liontin, perak hingga emas. mulai emas anting, kalung, gelang bahkan cincin kawin beralih tangan ke Panitia Pusat Pengumpul Emas yang dibentuk oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, 27 September 1947, di Bukittinggi.

Dikutip dari riauonline.co.id, Tak hanya kaum perempuan di Bukittinggi saja yang menyumbangkan emas perhiasan mereka, melainkan juga dari Padang Panjang dan sekitar Bukittinggi. Bung Hatta berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, selama tujuh bulan mulai Juni 1947 hingga Februari 1948. Namun Anehnya pesawat yg di beli dari hasil 'perhiasan' para bundo kanduang ini Di Beri nama RI-003, Pesawat Dari aceh yg Di beli Belakangan di beri nama RI-001.

Pesawat Avron Anson dibeli ketika keberadaan Bung Hatta di kampung halamannya sebelum Belanda melancarkan Agresi Militer I, pertengahan Juli 1947. Berbagai kota di Pulau Jawa dan Sumatera sudah diduduki penjajah, dan Ibukota Indonesia masih berusia belum genap dua tahun juga dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. ibukota Keresidenan Sumatera Barat pun ikut dipindahkan dari Padang ke Bukittinggi. Perpindahan ini juga diikuti pindahnya ibukota Provinsi Sumatera ke Bukittinggi.

Bung Hatta ketika Agresi Militer I berada di Bukittinggi, kemudian mencoba cari jalan mengatasi blokade ekonomi diterapkan Belanda. Blokade ini menyulitkan posisi pemerintah dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Hatta kemudian berpikiran, perlu upaya untuk menerobos blokade tersebut.

Setelah di pertimbangkan, Cara yg paling ampuh menerobos blokade tersebut adalah membeli pesawat terbang dengan meminta sumbangan ke rakyat Minangkabau untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Pada 27 September 1947, Bung Hatta membentuk Panitia Pusat Pengumpul Emas untuk mengumpulkan sumbangan dari rakyat tersebut. Pesawat terbang ini akan diterjunkan dalam misi-misi khusus guna menyelamatkan Republik Indonesia dari serangan Belanda.

Memimpin Panitia Adalah Mr A Karim, Direktur Bank Negara, dengan anggota para pejabat dan tokoh ikut rombongan Bung Hatta dari Yogyakarta serta diperkuat Mr Sutan Mohammad Rasjid, residen Sumatera Barat ketika itu.

Setelah membentuk kepanitian, Bung Hatta mengadakan sebuah apel besar di Lapangan Kantin (lapangan depan Makodim 0304/Agam, sekarang). Tanpa pikir panjang, selama dua bulan, amai-amai (ibu-ibu) mendaftarkan diri menyumbangkan semua perhiasan emas dan peraknya. dalam tempo kurang dari dua bulan, emas sudah terkumpul sebanyak satu kaleng biskuit. Pada akhir November 1947, bertempat di kantornya Gedung Agung (kini Istana Bung Hatta), Wakil Presiden Bung Hatta menerima emas tersebut. Kemudian emas perhiasan tersebut berasal dari sumbangan itu dilebur dan dijadikan emas batangan dengan berat 14 kilogram (kg) dari tangan Ketua Majelis Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Sumatera Barat, Chatib Sulaiman.

Aboe Bakar Loebis, Pembantu dekat Bung Hatta Diperintah bersama timnya mencari kapal terbang untuk dibeli. Berkat bantuan dua staf Perwakilan RI di Singapura, kebetulan putra Minangkabau juga, Letnan Penerbang Mohammad Sidik Tamimi alias Dick Tamimi dan Ferdy Salim (putra Haji Agus Salim), didapat kapal terbang jenis Avro Anson di Thailand yg mana pemiliknya adalah Paul H Keegan, warga negara Australia dan bekas penerbang RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) pada Perang Dunia II. Usai Perang Dunia II, banyak pesawat terbang sebelumnya digunakan untuk perang, dijualbelikan begitu saja, termasuk pesawat milik Keegan tersebut.

Setelah adanya 'clearance' dari perwakilan AURI di Singapura, pesawat itu resmi menjadi milik AU, dan nomor registrasi diganti menjadi RI-003. Pesawat ini tiba di Bukittinggi untuk diperlihatkan langsung ke warga Minangkabau dan pemimpin daerah, tercatat Pada Bulan Desember 1947. pesawat itu diterbangkan ke lapangan udara Gadut, Bukittinggi oleh Keegan, didampingi Dick Tamimi dan Ferdy Salim dari Songkhla, Thailand Selatan.

Avro Anson kemudian diberi kode registrasi VH-BBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni, kemudian diberi nomor registrasi RI-003. Keegan meminta pembayaran diserahkan di Songkhla, Thailand.

Pilot pertamanya Adalah Iswahyudi, mengadakan percobaan terbang dan berhasil dengan baik. Usai itu, 9 Desember 1947, pesawat Avro Anson diterbangkan dari Gadut menuju Songkhla dengan transit di Pekanbaru guna mengisi bahan bakar.

Dua penerbang AURI, Opsir Udara I Iswahyudi sebagai pilot dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma sebagai navigator, didatangkan langsung dari Yogyakarta untuk menerbangkan pesawat tersebut.

Penumpangnya Paul Keegan, Aboe Bakar Loebis, Is Yasin, dan Dick Tamimi. Selain mengantarkan Keegan pulang, misi tim melakukan penjajakan pembelian senjata dan pesawat serta melihat perwakilan RI guna mengatur penukaran dan penjualan barang-barang berhasil dikirim dari dalam negeri dan kemudian memasukan barang Singapura ke daerah RI menembus blokade Belanda.

Mereka sampai di Songkhla sore hari. Nasib nahas menimpa rombongan Aboe Bakar Loebis. Mereka diusir polisi setempat karena dituduh sebagai penyelundup candu dan emas. Setelah sampai mereka di Thailand, mereka diusir polisi setempat dengan alasan penyelundupan candu, emas dan perhiasan. Abu Bakar Lubis dan kawan-kawan akhirnya pindah ke Penang, Malaysia, Singapura, seterusnya ke Bukittinggi.


Sedangkan, Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi mendapat tugas menerbangkan pesawat kembali ke Gadut, Bukittinggi. Selain mengantarkan Keegan, mereka mendapat tugas pula untuk mengadakan kontak dengan pedagang-pedagang Singapura dalam rangka membeli senjata yang akan dibawa ke Tanah Air lewat Singapura.

Pada 14 Desember 1947, sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah tiba-tiba di daerah Perak-Malaysia pesawat tersebut terjebak dalam cuaca buruk.

Kabar buruk ini juga diterima Abu Bakar Lubis dan kawan-kawan yang pindah ke Singapura menggunakan jalur darat. Sekitar satu jam sesampainya di Singapura, Aboe Bakar Loebis, menerima telegram dari Polisi Malaka.

Isinya, satu unit pesawat Avro Anson telah jatuh di pantai Selat Malaka, dekat Tanjong Hantu, Negeri Perak, Malaysia. Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari dua orang warga China penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang, 14 Desember 1947, sekitar pukul 16.30

Dilansir dari tni-au.mil.id, seorang petugas kepolisian berbangsa Inggris bernama Burras segera pergi ke tempat musibah. Baru pada pukul 18.00 ia tiba dilokasi kejadian. Namun, dia tidak menemukan sesuatu, karena air sedang pasang naik.

Baru pada keesokan harinya Kepala Polisi Lumut bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan dan tiba di tempat pukul 09.00. Kepadanya kemudian dilaporkan tentang ditemukan sesosok jenazah yang mengapung beberapa ratus yards dari lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan setempat dibawa ke darat.

Ditemukan juga barang-barang lain di antaranya sebuah dompet, buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang tidak ada pistolnya, sarung pisau dengan nama Keegan di atasnya, dan beberapa potong pakaian. Dari bukti-bukti yang ditemukan itu diambil kesimpulan pesawat terbang yang mengalami kecelakaan itu adalah pesawat milik Angkatan Udara Republik Indonesia, Yaitu pesawat yg di beli dari hasil 'Patungan para bundo kanduang' Ranah Minang, RI-003.

▪️Editor: Boy Paskand

Sumber Referensi:

▪️riauonline.com "Bukan Aceh, Kaum Ibu Minanglah Pertama Kali membeli pesawat Untuk Indonesia"

▪️tni-au.mil.id
▪️agam.co.id

Foto: suara.com , riauonline.co.id, net.


Promo



 


Kunjungi Juga: