Oleh: Boy Paskand - Putra Figur
Pariaman Line - Dua provinsi di pulau sumatera ini mempunyai hubungan sangat dekat dalam sejarah, budaya dan tradisi.
Dikutip dari 'sumbarprov.go.id', Sejarah kedekatan ini di mulai jauh hari sebelum islam masuk ke ranah minang. Sejarah bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di Pagaruyuang, daerah pusat kerajaan Minangkabau.
Pemerintah Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke – 17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat.
Agama Islam yg masuk melalui pantai barat, kemudian di kembangkan Oleh Ulama besar 'Syekh burhannuddin' di ulakan, Beliau adalah Putra minangkabau yg berguru kepada 'syekh abdurrauf al singkli' di aceh, semakin berkembang dikalangan masyarakat dan berangsur- angsur mendominasi masyarakat Minangkabau. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir pantai masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian bagian dari kesultanan Aceh, seperti pariaman dan kuala banda mua yg saat ini bernama pantai tiku, masuk kab. Agam sekarang.
Peranan Ulama Berdarah minang pun semakin banyak Ikut mengembangkan agama islam Utusan kerajaan aceh keluar wilayah hingga penjuru nusantara, Tertulis dalam sejarah beberapa orang ulama minang yg sampai dakwahnya ke Philipina dan jadi raja di sana 'raja Baginda', juga tiga ulama yg menyebarkan islam ke Tanah bugis yg sampai sekarang masih di kenang, yaitu: Datuk Patimang bernama asli Datuk Sulaiman, juga bergelar Khatib Sulung. Datuk Ri Bandang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk Ri Tiro bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu.
Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan Puteri Betung atau Putri Dewi Indera sebagai leluhur Aceh, ditemukan oleh Raja Ahmad, yang muncul dari sebilah pohon bambu. Bustanu's Salatin menceritakan empati pemimpin perempuan yang terus menerus memerintah pada abad 17 di Aceh Darussalam. Menariknya, gelar yang disandang oleh para penguasa perempuan, juga sama seperti penguasa laki-laki, seperti nenek dari Iskandar Muda disebut sebagai Paduka Shah Alam' atau 'Penguasa Semesta'. dan Safiatuddin disebut sebagai 'Paduka Seri Sultan Tajul Alam'. Begitupun dengan Minangkabau. Kaba Cindua Mato merupakan kisah lisan anonim yang diketahui secara luas oleh masyarakat tentang Bundo Kanduang, raja perempuan yang menguasai Alam Minangkabau. Ialah penjaga dan penguasa kerajaan Pagaruyuang yang menerapkan sistem demokratis dalam memutuskan sebuah perkara berdasarkan mufakat dari para anggota pemerintahannya. Lebih lanjut, meskipun perempuan, Bundo Kanduang selalu dikisahkan sebagai raja, dibandingkan ratu. Tak hanya sebagai raja yang hebat dan bijak, ia juga merupakan seorang ibu yang secara sosial menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan anaknya, dan tak pernah ada pengkisahan ia sebagai seorang istri.
Dalam tradisi Aceh dan Minangkabau, rumah sangat berkaitan dengan perempuan dimana ia memiliki posisi sentral secara kultural, struktural dan juga ekonomi. Dalam Bahasa Aceh, istri disebut sebagai seseorang yang memiliki rumah (njang po rumoh) sehingga meskipun suami dan istri bercerai, maka rumah tetap menjadi hak milik perempuan, bukan harta bersama antara istri dan suami. Dengan demikian, perempuan sementara tinggal di kampung karena ia memiliki tempat, posisi, dan otoritas lewat tanah dan rumah, laki-laki beranjak menuju dewasa saat meninggalkan rumah ibu melalui proses merantau. Minangkabau pun menunjukkan perempuan sebagai sentral dari Rumah Gadang dan pemegang kunci dari properti sistem kekeluargaan. Disebut juga sebagaiBundo Kanduang, perempuan memiliki kontrol terhadap tanah dan hubungan kekeluargaan.
Lebih lanjut, kepemilikan tanah yang tersentral pada perempuan, dapat berkontribusi secara ekonomi. Di Aceh, laki-laki disebut sebagai mita peng (pencari uang) dan perempuan sebagai mita breuh (pencari beras). Oleh karena itu, serupa dengan Bundo kanduang, perempuan Aceh memiliki kendali atas tanah dan hasil panen. Karena kontrolnya terhadap produksi padi, maka perempuan yang menjadi pedagang merupakan hal biasa. Di Minangkabau, ketika ibu meninggal, maka anak perempuan yang mendapatkan hak penuh atas tanah. Laki-laki memiliki kontrol terhadap sawah saat tidak ada lagi kerabat perempuan dalam silsilah kekerabatannya.
Budaya Aceh dan Minangkabau sejak awal tak mempersoalkan posisi sentral perempuan dan mengenal pembedaan publik-domestik, termasuk posisi ibu yang kuat dan memegang pengaruh penting juga dalam pengambilan keputusan dalam struktur adat.
▪️Editor: Boy Paskand
Dikutip dari 'sumbarprov.go.id', Sejarah kedekatan ini di mulai jauh hari sebelum islam masuk ke ranah minang. Sejarah bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di Pagaruyuang, daerah pusat kerajaan Minangkabau.
Pemerintah Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke – 17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat.
Agama Islam yg masuk melalui pantai barat, kemudian di kembangkan Oleh Ulama besar 'Syekh burhannuddin' di ulakan, Beliau adalah Putra minangkabau yg berguru kepada 'syekh abdurrauf al singkli' di aceh, semakin berkembang dikalangan masyarakat dan berangsur- angsur mendominasi masyarakat Minangkabau. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir pantai masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian bagian dari kesultanan Aceh, seperti pariaman dan kuala banda mua yg saat ini bernama pantai tiku, masuk kab. Agam sekarang.
Peranan Ulama Berdarah minang pun semakin banyak Ikut mengembangkan agama islam Utusan kerajaan aceh keluar wilayah hingga penjuru nusantara, Tertulis dalam sejarah beberapa orang ulama minang yg sampai dakwahnya ke Philipina dan jadi raja di sana 'raja Baginda', juga tiga ulama yg menyebarkan islam ke Tanah bugis yg sampai sekarang masih di kenang, yaitu: Datuk Patimang bernama asli Datuk Sulaiman, juga bergelar Khatib Sulung. Datuk Ri Bandang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk Ri Tiro bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu.
Untuk mengenang jasa ketiga ulama minang tersebut, kantor dakwah muhammadiyah sulawesi selatan di bangun mengadopsi bangunan rumah gadang minangkabau yg masih ada sampai sekarang.
Teungku Di Ujung yang bernama lahir Halilullah adalah seorang ulama besar dari Minangkabau yang menyebarkan Islam di Pulau Simeulue, Kesultanan Aceh pada abad ke-14 atau 15, dan berhasil mengislamkan hampir seluruh masyarakat pulau itu.
Pulau Simeulue adalah sebuah pulau yang berjarak sekitar 150 km dari pantai barat Aceh. Teungku Di Ujung mempunyai istri bernama Si Melur, yang merupakan asal usul dari nama pulau Simeulue menurut cerita turun temurun dari masyarakat setempat
Teuku umar, salah seorang pahlawan yg sangat gigih dalam mengusir kaum penjajah di tanah rencong Juga mempunyai darah keturunan minang-aceh. Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.
Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Teungku Di Ujung yang bernama lahir Halilullah adalah seorang ulama besar dari Minangkabau yang menyebarkan Islam di Pulau Simeulue, Kesultanan Aceh pada abad ke-14 atau 15, dan berhasil mengislamkan hampir seluruh masyarakat pulau itu.
Pulau Simeulue adalah sebuah pulau yang berjarak sekitar 150 km dari pantai barat Aceh. Teungku Di Ujung mempunyai istri bernama Si Melur, yang merupakan asal usul dari nama pulau Simeulue menurut cerita turun temurun dari masyarakat setempat
Teuku umar, salah seorang pahlawan yg sangat gigih dalam mengusir kaum penjajah di tanah rencong Juga mempunyai darah keturunan minang-aceh. Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.
Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Selain sejarah, Dua Provinsi ini juga dekat dengan tradisi dan budaya, diantaranya tentang kesetaraan gender dan mengistimewakan perempuan, Tradisi Aceh dan Minangkabau lekat dengan prinsip matrifokal. Matrifokal dapat berupa :
▪️pengakuan peran ibu sebagai pusat, baik secara kultural maupun struktural dalam sistem kekerabatan.
▪️pengakuan peran ibu sebagai pusat, baik secara kultural maupun struktural dalam sistem kekerabatan.
▪️hubungan dalam masyarakat perempuan dan laki-laki setara, termasuk peran penting perempuan di ranah ekonomi.
Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan Puteri Betung atau Putri Dewi Indera sebagai leluhur Aceh, ditemukan oleh Raja Ahmad, yang muncul dari sebilah pohon bambu. Bustanu's Salatin menceritakan empati pemimpin perempuan yang terus menerus memerintah pada abad 17 di Aceh Darussalam. Menariknya, gelar yang disandang oleh para penguasa perempuan, juga sama seperti penguasa laki-laki, seperti nenek dari Iskandar Muda disebut sebagai Paduka Shah Alam' atau 'Penguasa Semesta'. dan Safiatuddin disebut sebagai 'Paduka Seri Sultan Tajul Alam'. Begitupun dengan Minangkabau. Kaba Cindua Mato merupakan kisah lisan anonim yang diketahui secara luas oleh masyarakat tentang Bundo Kanduang, raja perempuan yang menguasai Alam Minangkabau. Ialah penjaga dan penguasa kerajaan Pagaruyuang yang menerapkan sistem demokratis dalam memutuskan sebuah perkara berdasarkan mufakat dari para anggota pemerintahannya. Lebih lanjut, meskipun perempuan, Bundo Kanduang selalu dikisahkan sebagai raja, dibandingkan ratu. Tak hanya sebagai raja yang hebat dan bijak, ia juga merupakan seorang ibu yang secara sosial menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan anaknya, dan tak pernah ada pengkisahan ia sebagai seorang istri.
Dalam tradisi Aceh dan Minangkabau, rumah sangat berkaitan dengan perempuan dimana ia memiliki posisi sentral secara kultural, struktural dan juga ekonomi. Dalam Bahasa Aceh, istri disebut sebagai seseorang yang memiliki rumah (njang po rumoh) sehingga meskipun suami dan istri bercerai, maka rumah tetap menjadi hak milik perempuan, bukan harta bersama antara istri dan suami. Dengan demikian, perempuan sementara tinggal di kampung karena ia memiliki tempat, posisi, dan otoritas lewat tanah dan rumah, laki-laki beranjak menuju dewasa saat meninggalkan rumah ibu melalui proses merantau. Minangkabau pun menunjukkan perempuan sebagai sentral dari Rumah Gadang dan pemegang kunci dari properti sistem kekeluargaan. Disebut juga sebagaiBundo Kanduang, perempuan memiliki kontrol terhadap tanah dan hubungan kekeluargaan.
Lebih lanjut, kepemilikan tanah yang tersentral pada perempuan, dapat berkontribusi secara ekonomi. Di Aceh, laki-laki disebut sebagai mita peng (pencari uang) dan perempuan sebagai mita breuh (pencari beras). Oleh karena itu, serupa dengan Bundo kanduang, perempuan Aceh memiliki kendali atas tanah dan hasil panen. Karena kontrolnya terhadap produksi padi, maka perempuan yang menjadi pedagang merupakan hal biasa. Di Minangkabau, ketika ibu meninggal, maka anak perempuan yang mendapatkan hak penuh atas tanah. Laki-laki memiliki kontrol terhadap sawah saat tidak ada lagi kerabat perempuan dalam silsilah kekerabatannya.
Budaya Aceh dan Minangkabau sejak awal tak mempersoalkan posisi sentral perempuan dan mengenal pembedaan publik-domestik, termasuk posisi ibu yang kuat dan memegang pengaruh penting juga dalam pengambilan keputusan dalam struktur adat.
▪️Editor: Boy Paskand
Sumber referensi:
▪️qbukatabu.org
▪️sumbarprov.go.id
▪️Wikipedia
▪️aceh.tribunnews.com
▪️acehprov.go.id
▪️qbukatabu.org
▪️sumbarprov.go.id
▪️Wikipedia
▪️aceh.tribunnews.com
▪️acehprov.go.id