Pada abad 15-16 M, Pariaman dan beberapa daerah pelabuhan di sepanjang pesisir Barat Sumatera (Singkel, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang) secara de facto dan de jure berada dalam kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam, di bawah perintah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar yang memerintah pada tahun 1537-1571 M (Rusdi Sufi, 1995:12). Ketika itu Pariaman menjelma menjadi bagian wilayah penting kekuasaan Aceh di Pantai Barat Minangkabau, dengan hasil produksi lada yang diperdagangkan ke India, Tiongkok, dan Eropa (Zakaria Ahmad, 1972:52).
Mengutip keterangan dari kitab “Bustanus Salathin”, Hamka (1974:146) juga menegaskan bahwa hubungan Kesultanan Aceh Darussalam yang “nyata” dengan Pariaman memang baru terjadi di zaman Sultan Aceh yang ke-tiga, yaitu: Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar.
Oleh karena memandang pentingnya posisi Pariaman tersebut, maka Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar menempatkan anak kandungnya yang bernama Sultan Mughal (dikenal juga dengan nama: Sultan Moghul / Abangta Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah) sebagai raja muda atau wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman (Amirul Hadi, 2010:50 ; Zakaria Ahmad, 1972: 93 ; M. Junus Djamil, 1958:104-105). Hamka (1974 :146) menulis bahwa Sultan Mughal ini merupakan Raja Muda Aceh Darussalam pertama yang dirajakan di Pariaman.
Tugas Sultan Mughal selaku Raja Muda yang mewakili Sultan Aceh Darussalam di Pariaman adalah untuk melakukan kontrol terhadap roda pemerintahan, termasuk aspek politik, administrasi, dan ekonomi (Amirul Hadi, 2010:50). Jabatan Sultan Mughal sebagai Raja Muda di Pariaman ini berakhir pada tahun 1579 M, karena ia “mendapat promosi” ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke 6, dengan gelar “Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah”, yang menggantikan kekuasaan keponakannya yang bernama Sultan Muda (Sultan ke-5, anak dari Sultan Husein Ali Ri’ayat Syah / Sultan ke-4). (Mohammad Said, 1981:205). Namun, Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah ini akhirnya mati dibunuh pada tahun 1579 M itu juga, setelah berkuasa hanya dalam waktu 2 bulan saja. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Zainal Abidin (Sultan ke-7, memerintah dalam waktu singkat, berakhir tahun 1579), anak dari saudaranya yang bernama Sultan Abdullah (Raja Aru) (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:27-28).
Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah menikah dengan Raja Dewi, seorang putri dari Raja Indrapura, yaitu Sultan Munawar Syah. Raja Dewi juga merupakan saudara perempuan dari Sultan Buyung (Sultan Bujang), yang kelak ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam ke- 9 (1585-1589), dengan gelar Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah. Ia menggantikan Sultan Mansyur Syah (Sultan ke 8, memerintah 1579-1585 M). Dengan demikian, terlihat jelas bahwa Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah ini adalah ipar dari Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah. Kelak, cucu dari Sultan Sri Alam yang bernama Darma Wangsa Perkasa Alam (bergelar Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, berkuasa 1607-1636 M) muncul menjadi Sultan yang gilang gemilang, yang telah membawa kerajaan Aceh Darussalam kepada masa keemasannya.
Kemudian, Raja Muda ke-dua yang ditugaskan untuk mewakili Sultan Aceh Darussalam di Pariaman adalah: Burhanuddin Syah, yaitu putra kedua dari Syamsul Syah, yang merupakan adik dari pendiri pertama kerajaan Aceh sesudah era Pasai, Sultan Ali Mughayat Syah (Hamka,1974 :130). Burhanuddin Syah ini merupakan penganut Agama Islam yang bermazhab Syi’ah. Sungguh pun demikian, menurut Hamka (1974:134). Ia tidak menemukan nama Burhanuddin Syah ini di dalam salah satu catatan hikayat Aceh, sebagai salah seorang raja raja Aceh.
Pendapat yang lebih kuat dan dapat diterima mengenai Raja Muda ke-dua yang ditugaskan untuk mewakili Sultan Aceh Darussalam di Pariaman sepertinya adalah penjelasan dari dokumen Silsilah Nasab Sultan Aceh yang disusun oleh Teuku Syahbuddin Razi. Salinan dokumen ini penulis peroleh dari “Ampon” Aris Faisal Djamin (pewaris keturunan keluarga Uleebalang Datok Bagindo di Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam), ketika penulis melakukan korespondensi “saling bertukar pikiran” dengannya melalui media Whatsapp dan Facebook.
Dalam dokumen silsilah dan nasab tersebut menunjukan bahwa Raja Muda ke-dua yang ditempatkan sebagai “Vassal” di Pariaman pada masa pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam adalah: Sultan Muda Mahyiddin, yang merupakan anak dari Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah. Setakat ini, belum banyak informasi yang penulis temukan bagaimana kiprah Sultan Muda Mahyiddin ini sebagai raja muda di Pariaman ketika itu.
Sultan Muda Mahyiddin kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Umar, sebagai raja muda wakil Sultan Aceh Darussalam yang ke-tiga di Pariaman. “Ampon” Aris Faisal Djamin juga menjelaskan kepada penulis, bahwa anak perempuan dari Sultan Muda Umar ini adalah: Sultanah Kamalat Syah (salah seorang raja perempuan / Sultanah yang pernah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam). Ia menikah dengan Sultan Badrul Alam Jamaluddin. Dari hasil perkawinan ini-lah bermulanya kemunculan Dinasti yang berasal dari Arab dalam pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam. Zuriat dari buah perkawinan mereka adalah: Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Ali Zainal Abidin, Sultan Said Jakfar, sehinggalah kepada Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Habib Abdullah. Dinasti “Habib” dari Arab ini kemudian dikudeta oleh Pocut Muhammad, yang jalan ceritanya diuraikan panjang lebar dalam “Hikayat Pocut Muhammad”, yang mengisahkan terjadinya perang besar dan dualisme kekuasaan dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
Sedangkan salah seorang keponakan dari Sultan Umar ini adalah: Laksamana Malahayati, seorang perempuan yang menjadi laksamana Angkatan Perang Kesultanan Aceh Darussalam, yang terkenal dengan keberanian dan kelihaiannya dalam bertempur di medan perang. Laksamana Malahayati merupakan anak dari Laksamana Muda Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah, bin Sultan Salahuddin, bin Sultan Ali Mughayatsyah.
Kekuasaan Aceh di Pariaman ini berakhir pada era pemerintahan Sulthanah (Ratu) Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M), di mana ketika itu hampir semua daerah di pantai barat Minangkabau terlepas dari kekuasaan kerajaan Aceh (Zakaria Ahmad, 1972: 86 : A. Hasjmy, 1977:32). Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat ini merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari istrinya yang bernama Puteri Sani (Putri Sendi Ratna Indra) (A. Hasjmy, 1977:33).
Kemudian, sejak Abad 17, wilayah pantai Barat Sumatera, yaitu: Painan, Padang, Pariaman, Tiku, Air Bangis, Natal, Tapian Na Uli (Poncan/Sibolga), Nias, Barus, Tapus, Singkel, Trumon, telah berada dalam gengaman Belanda (Mohammad Said, 1981:825). Mungkin oleh tersebab oleh hal inilah, maka Mohammad Said (1981:349) menuliskan bahwa Pariaman merupakan daerah yang terlihat jelas mendapat pengaruh dari kekuasan Aceh. Hamka (1982:107) sepertinya juga mendukung pendapat ini, karena mengatakan bahwa di Pariaman pengaruh Aceh amat nyata terasa.
Kembali ke pokok pangkal persoalan, kalau memang Kesultanan Aceh Darussalam pernah “menguasai” dan menempatkan tiga orang raja muda sebagai wakilnya di Pariaman, di manakah tempat mereka berdiam dan melaksanakan pemerintahannya ? Dalam konteks ini, tanpa bermaksud “mengepit daun kunyit”, penulis hanya meneruskan pendapat yang disampaikan oleh Buya Hamka, bahwa: “Satu pengaruh Aceh datang ke Rantau, Tiku Pariaman. Di Padusunan ada Raja bergelar Sultan, dirajakan dari Aceh, bukan dari Pagaruyung (Hamka 1984:105). Kemudian, Hamka melanjutkan keterangannya bahwa: Semua orang Pariaman tahu, bahwa kedudukan Sultan Muda Aceh bukan di Pelabuhan Pariaman, tetapi di Padusunan (Hamka,1974:140). Ini “inti tareh” dan “pati kato”-nya!
Catatan: Sadri Chaniago – Dosen Jurusan llmu Politik FISIP UNAND/ Anak Nagari IV Angkek Padusunan.