Iklim belajar di kelas pada saat ini tak
lagi ditandai oleh tingginya kreativitas , motivasi dan keterampilan
para siswa pada dunia pendidikan secara umum. kesopanan dan citra
terdidik tak lagi suatu hal yang semestinya di tonjolkan oleh sebahagian
siswa, bukan kah banyak tayangan kriminal dan pelanggaran HAM yang
dilakukan para siswa diluar jam sekolah. ini fakta..
Hilangnya rasa sebagai orang terdidik di tandai dengan banyaknya aksi-aksi
anarkis yang dilakukan para siswa, khususnya para pelajar yang duduk di
bangku sekolah kelas menengah atas. aksi tawuran dijalanan merajalela
yang meresahkan masyarakat di sekitarnya, gank motor yang ikut dilakoni
para pelajar mewarnai setiap sudut kota, memprihatinkan sekali.
Sungguh ironis, kebijakan baru pendidikan di tanah air tak di sambut
dengan motivasi dan kreasi siswa yang semestinya mereka tonjolkan. CBSA
yang menekankan proses pembelajaran dengan cara belajar siswa aktif,
berubah hasil. dalam bahasa jawanya 'cah bodo soyo akeh..'
para pengamat dunia pendidikan di tanah air banyak berpendapat,
hilangnya rasa sebagai orang terdidik pada sebagian siswa dikarenakan
kurangnya kontrol ter arah pada diri siswa ketika waktu luang di luar
jam sekolah, yang punya peranan penting disini adalah orang tua.
Akan tetapi, juga menurut para pakar dan pengamat dunia pendidikan
ditanah air, peranan guru juga cukup penting dalam pembentukan watak
seorang siswa yang didiknya. hampir 50% didikan guru akan turut
menentukan arah masa depan mereka kelak. lantas bagaimana andai kata ada
guru yang hanya mementingkan loyalitas ketimbang memberikan pendidikan
yang nyata?. tak bisa di pungkiri, walau hanya sebagian kecil sekali,
ada guru yang berprinsip seperti itu.
Memang betul sekali sebuah argumentasi yang sangat patut di iya
kan.,'kalau bukan karna guru, takkan lahir para pemimpin , pejabat
negara, insinyur hebat dan para intelektual terkenal di negara ini.
kalau bukan karna jasa seorang guru, mungkin takkan ada tokoh-tokoh
hebat yang memperkenalkan negeri ini di mata internasional seperti
sekarang.
Tak terlalu berlebihan jika gelar pahlawan tampa tanda jasa di berikan
pada mereka yang berprofesi sebagai guru. namun ada titik koma yang
mesti di garis bawahi, ada juga sebagian kecil guru yang lupa akan
profesinya sebagai guru yang akan di teladani, dan di jadikan figur oleh
siswa yang di gemblengnya.
Dengan mengutip tulisan 'SUTEJO' yang dimuat di halaman koran HALUAN
edisi bulan yang lalu menuliskan opininya, ' realita seorang guru
sebagai profesi sebagai layaknya profesi dokter dan hakim sampai saat
ini belum sepenuhnya menjadi kenyataan.. meskipun citra seorang figur
guru dibangun dengan menciptakan lagu pahlawan tampa tanda jasa, tapi
tak semua guru menyadarinya, ketika zaman orde baru pendidikan
menggunakan pendekatan kemiskinan, milteristik dan politis. ketika era
reformasi bergulir, mendesentralisasi pendidikan untuk di kelola dalam
kontek otonomi daerah yang harus mampu melakukan perubahan paradigma
'pendidikan daerah yang lebih baik dalam visi ke sejagadan untuk
kemajuan daerah nya sendiri dan bangsa ini.
Menurut sutejo juga, hal lain yang membuat para siswa lupa akan ia
adalah orang terdidik adalah, kurangnya budaya baca dan tulis semacam
'reading society and writing' di dunia pendidikan kita. tradisi
pendidikan kita adalah kelisanan, ceramah yang membuat para siswa emoh
kesekolah. sekolah yang idealnya melahirkan masyarakat yang membaca dan
menulis, tapi realitanya malah menciptakan masyarakat 'ngerumpi di
warung-warung kopi'. dan melahirkan ideologi 'ngobrolin orang wae..'
Sutejo juga menyampaikan dalam opininya, jika menengok taradisi negara
maju seperti jepang maka akan kita temukan bagaimana membaca adalah
sudah terkondisi sejak kecil dilingkungan informal. bangun tidur , nulis
ham dan duly (kr,4/10/94/).budaya membaca koran pun sebagai sarapan
kedua orang-orang jepang bukan hanya cerita saja.
Semoga saja catatan dan opini di atas bisa menjkadi inspirasi bagi siswa
yang terdidik agar mereka sadar dari ke alpaan kalau ia adalah
terdidik. (Catatan: boy paskand/ FOTO:metro tempo)